Suara dan Kata

August 5, 2015 § Leave a comment

Suara mengujimu lewat kata, bilang ia hanyalah apa.

Suara mengelabui rumahmu di otak, menguasai, lalu menghujani kamu.

Bilang (lagi), ia hanyalah apa.

Suara mengantarkan emosi, dialiri penuh oleh kata.

Suara hanya mengenal kepala, enggan turun ke dada, apalagi detak berharga.

Suara hanya mampu menggedor, mendobrak, menghentak, lalu berteriak.

Katanya, Ia (lagi-lagi) hanyalah apa.

Suara tak pernah menduga untuk bertabrakan, pada dinding jantung yang mulai runtuh. Pada aliran darah yang menderas lalu menyembur. Pada detak yang berlari. Pada saraf yang menggigit. Pada kulit yang menghangat.

Pada kata.

Yang akhirnya bilang, ‘Lihat kan? Sejauh apa pikirmu menolak, kau justru cinta telak.’

 

Ende, 3 September 2015

 

Laut

January 11, 2015 § Leave a comment

Birumu mengelabu, buihmu berpacu

Bersama riak yang berteriak,

lalu mengarak bersama ombak.

 

Luasmu adalah bumi

Biarkan anginku terbang menyisiri,

tak kunjung melandai

mendarat, labuhkan sepoi.

 

Haruskah kita cuma bersinggungan

Anginku di atas samuderamu

Semilirku dan gelombangmu

Badaiku dan pusaranmu

 

Rasaku yang teretas,

terlepas tanpa bekas,

terhempas tanpa welas,

berenang di birumu yang tanpa batas

 

Kuingin pantai,

tempat kau menabrak pasir, lembut

tempatku mengayunkan dedaunan, tenang

anginku dan lautmu, saling merengkuh

 

Kuingin tepi

 

Kuingin batasmu

 

Salah satu proyek The Typewriter!

Percakapan dengan Matahari

December 22, 2014 § Leave a comment

Suatu hari, seorang anak laki-laki yang tinggal di lereng sebuah gunung melakukan pendakian hingga puncak. Ia ingin mendekati langit sambil berusaha menggapai matahari. Sebuah cita-cita yang dijunjungnya sedari kecil. Kalau aku sudah menggenggam sinar sejagad itu, pasti aku bisa melihat dunia, pikirnya.

Betul saja.

Ketika ia telah berada di tepi teratas, ia menengadah dan di sanalah ia disorot silau matahari yang menembus pikiran dan hatinya. Meski matanya memicing-micing, tapi di balik celah kelopak, ia mampu mendapati matahari tersenyum padanya.

Akhirnya ia duduk bersila, bersusah payah menghadap matahari sembari menghalau sinarnya

“Hai, Matahari. Bagian mana saja yang kau terangi?”

“Tentu saja seluruh dunia. Setiap milimeter tanah di atas bumi pernah tersiram cahayaku.”

“Kau tak lelah?”

“Ada waktunya aku meredup. Beristirahat pada malam.”

“Hujan juga mampu mengalahkanmu, bukan?”

“Aku membiarkannya turun sebagai permintaan maafku, karena terikku mungkin telah mengacaukan para makhluk.”

“Ada kalanya kau memanjangkan umur kemaraumu. Kenapa?”

“Para makhluk butuh pelajaran juga, bukan?.”

Anak itu terbahak, “Kau begitu tak terkalahkan.”

Matahari turut tertawa, “Hei, ada manusia yang lebih hebat dariku.”

Alis anak itu terpaut dalam. “Manusia mana?”

“Ibumu.”

Sunyi menyisip di antara kata-kata yang enyah sesaat di pikiran si anak. “Ibu?”

“Ia mampu menerangimu seumur hidup dengan kasih sayang membuncah yang tak habis-habis. Sesekali hujannya datang untuk membasahi hatimu yang sekeras batu agar melembut lagi. Tapi ia tak mengenal kemarau. Tak mengenal hujan berkepanjangan. Bahkan, tak pernah mengenal malam.”

Relung hati si anak menghangat.

“Ia selalu bercahaya. Tak sekalipun redup. Bahkan, seluruh sinarnya itu tercurahkan semua untukmu. Nyaris tak terbagi-bagi.”

Si anak teringat ibunya di rumah. Yang semalam melantunkan doa untuk keselamatannya sampai di puncak. Yang mengiringi kepergiannya dengan cium penuh kasih di pipi kanan dan kiri. Yang sibuk memasakkan sarapan untuknya. Yang terus-terusan mengecek perbekalannya.

Yang seumur hidup menyayanginya tanpa putus.

“Ibumu lebih dari sekedarku. Kalau kau di sini untuk menggapai langit, kembalilah padanya. Di bawah telapak kakinya, langit justru semakin dekat.”

Anak itu bangkit, menatap matahari sekuatnya. “Terima kasih.”

“Ada satu ibu lagi yang harus kau cintai dan lindungi.”

Anak itu menangkap seulas senyum di antara sinar-sinar putih matahari yang mengkilat.

“Ibu pertiwimu. Jangan lupakan dia. Dari rahimnya, ibumu dan kau dilahirkan.”

Anak itu tertegun lagi.

“Ibumu yang ini… Ia mengenal kemarau dan hujan berkepanjangan. Ia bisa meredup, bahkan tidur lama dan sulit bangun. Tapi ia begitu mendengarmu. Begitu membutuhkan tangan-tanganmu untuk membantunya memendarkan cahaya. Jangan biarkan ia terus-terusan terlingkup mendung. Bantulah ia untuk menyingkap awan-awan itu.”

“Ibu pertiwi ini… lemah?”

“Ia hanya dilingkupi kelabu. Ibu pertiwimu, renta semu, dan butuh topanganmu.”

Anak itu bangkit, membungkus wajahnya dengan seulas senyum hangat pada matahari. Penghormatan terakhir.

“Kau, teruslah bercahaya di atas, Matahari.”

“Kau juga. Pantulkan sinar ibu-ibumu ke sekitarmu.”

Jakarta, 22 Desember 2014

Pojok kamar ungu

Selamat Hari Ibu!

Terima kasih telah menjadi cahaya warna-warni dengan pendar terkuat hingga detik ini, segala-jenis-ibu-dan-seluruh-ibu-di-dunia 🙂

Keajaiban

October 11, 2014 § Leave a comment

There can be miracle, when you believe. 

Rasanya, lagu When You Believe yang dinyanyikan oleh Mariah Carey dan Whitney Huston menjadi nyata bagi saya beberapa waktu terakhir.

Sering kali, kita hanya lupa, bahwa ketika masalah mendera, kita hanya perlu bercerita. Ketika tak menemukan siapa-siapa, pada diri sendiri dan Yang Di Atas-lah kita selalu bisa menemukan jawabannya. Bukan yang pertama, seringkali saya begitu percaya terhadap apa yang saya lakukan. Tak jarang saya yakin bahwa ini-itu sudah benar. Ternyata, jalan memang tak pernah semulus yang saya perkirakan. Saya berharap di jalan tol itu saya akan melesat, rupanya ada batu besar yang diletakkan oleh seseorang di tengah jalan yang entah bagaimana caranya ada di sana, dan akhirnya membuat saya turut bermacet-macetan.

Saya hanya mempunyai waktu tiga hari untuk mengejar deadline tugas saya. Saya rasa, kekuatan doa benar-benar telah menolong saya.

Pertama, adalah tugas mendapatkan kata sambutan dari dekan di fakultas untuk penerbitan sebuah buku. Konon, prosedur untuk mendapatkan pidato tertulis dari beliau tersebut cukup panjang. Namun, selalu ada jalan keluar: kebetulan teman seangkatan sedang menjalani magang di dekanat dan asisten dekan ternyata baru saja ganti sehingga follow up bisa saya kerjakan langsung ke beliau, dan… subhanallah, hanya dalam waktu tiga hari, kata sambutan sudah ada di tangan. Pengalaman dulu, sekitar 3 tahun lalu, saya harus menunggu 3-4 bulan hanya untuk mewawancari dekan untuk sebuah artikel.

Kedua, adalah tugas saya untuk mendapatkan persetujuan naskah kedokteran yang saya tulis untuk buku yang sama dengan di atas. Sudah empat kali (selama 8 bulan; batas pengoreksian hanya 2 kali saja) naskah ini diedit oleh konsulen terpilih di bidang tersebut, namun di akhir koreksi, beliau justru mengatakan, ‘Saya tidak setuju naskah ini terbit, mending artikel ini kamu drop saja.’ Kesal itu lalu datang; selama ini saya merasa kurang diarahkan, namun akhirnya, ketika dummy buku akan dicetak, malah dijatuhkan.

Beliau lalu menyarankan saya untuk menghubungi konsulen lain. Saya hanya punya waktu tiga hari untuk mendapatkan persetujuan dari konsulen baru ini. Alhamdulillah, tepat di hari buku akan naik cetak, konsulen tersebut memberikan kata iya. ‘Ini yang kamu tulis sudah baik, tidak menyimpang, sukses ya ke depannya, ‘ begitu beliau katakan. Rasanya seolah sedang menenggak air es di tengah Gurun Sahara. Adem. Walaupun beliau meminta mengganti sebuah grafik menjadi gambar anatomi, namun berkat kecekatan ilustrator buku, ilustrasi tersebut sesuai harapan.

Ketiga, saya lulus ujian kelulusan dokter. Alhamdulillah. Akhirnya, pada tanggal 18 Oktober 2014 nanti, saya akan resmi dilantik menjadi seorang dokter. Sumpah dokter. Sulit dipercaya. Setelah 5 tahun, setelah saya nyaris tak ingat nikmatnya tinggal di rumah, setelah saya banting-tulang belajar hingga mengikuti organisasi, dan semuanya. Pun rasanya banyak kealpaan yang dilakukan saat ujian kemarin. Kalau bener gue lulus, pokoknya cuma Allah yang nolong gue, saya sempat berkata begitu kepada salah serang teman. Dan, benar, memang semua mustahil tanpa pertolongan-Nya. 

Ada sebuah quote. Ketika kamu berada di titik terendah, berdoalah. Ketika kamu berada di titik tertinggi, berdoalah semakin kuat. Ketika kamu tidak tahu apakah berdoa akan memberikan hasil, tetaplah berdoa.

Karena kamu tidak tahu apa yang akan kamu hadapi, karena kamu tidak akan menyangka nikmat apa yang akan Dia berikan.

Karena memang cuma itu yang dapat kamu lakukan: berdoa.

Salam hangat dan bersyukur, alhamdulillah 🙂

Aroma Rumah

October 7, 2014 § Leave a comment

Ketika secangkir caramel machiato yang baru saja kau pesan di Starbucks tak lagi menggiurkan, kau hanya bisa termangu. Rasanya, bau susu milo buatan Ibu lebih ingin kau hidu.

Kau hanya bisa mencari-cari aroma rumah dalam kepala. Meski kamar pun kau tak punya –Ibu dan ayah mengganti ruang lelapmu menjadi tempat serba bisa: menonton TV, belajar, yang bisa dipakai semua, hingga menaruh persediaan sprei, selimut, dan taplak meja pada 2/3 lemari pakaianmu– kau tak juga terganggu. Pergi berkendara dengan motor atau sepeda, tidur seranjang bertiga bersama dua saudara hingga makan bakso bersama di atas karpet sambil berbagi cerita, menginduksi selengkung senyum tanpa kau sadari.

Selalu ada yang kau tunggu, sholat maghrib berjamaah yang dilanjutkan sesi bertukar pikiran. Selalu ada yang membuat kau begitu ceria; menjahili adik-adikmu.

Rasanya singkat. Dulu, Ibu harus menegurmu untuk menyiram tanaman, mencuci piring, atau menyapu lantai. Kini, dalam tiap detik berhargamu, kau memilih untuk berinisiasi. Agar Ibu senang, agar Ayah tenang sepulang bekerja. Padahal, justru kini Ibu tak meminta tolong apa-apa, selain menghabiskan masakannya.

Betapa lucunya, ketika tetangga-tetangga baru lewat di depan pagar halaman, tak menyapamu karena tak kenal; sebagian besar dari mereka mengernyitkan dahi. Siapa ini, mungkin. Betapa gelinya, ketika kau disangka adikmu oleh para tamu, lalu terbahak ketika menyadari itu benar kau, dan berakhir ditanya, ‘kapan pulang ke rumah? sampai kapan pulangnya?’. Kau lantas terdiam, oh, sungguh sebentar aku singgah.

Kau teguk sekali caramel machiato-mu.

Kau selalu tahu, ada tempat itu, kampung halaman. Tempat kau tahu arti pulang. Tempat yang selalu membuatmu ingin kembali entah di mana saat ini kau tinggal, menetap, atau kunjungi. Tempat itu selalu menjadi yang terbaik, dengan kehangatan tanpa batas yang mampu merengkuhmu dalam-dalam.

Meski dalam lima tahun perantauanmu ini, kau masih ingin terus di sana.

Karena sesuatu akan semakin berharga ketika sudah berjarak jauh.

Ah, Rumah, aku merindumu.

Dan, halo, Yogyakarta. Selamat ulang tahun 🙂

Jakarta, 7 Oktober 2014

#Homesick

Happening

May 28, 2014 § Leave a comment

Sometimes, you can just hold your breath and stare at it. Then slowly stepping back. Then you’ll realize, how stupid you are that time.

Sometimes, things just seem out of control; it’s not going as perfect as you’ve ever planned. Or you’re just that messed up.

You are in a mess, for sure.

Sometimes, you are certain. Ready enough; feeling possible and confident. Then something crushes you out of nowhere, beyond your reach and expectation. It breaks every inch of your way, scratching your steps, leaving you armless and hopeless.

Then it’s you, in the end. It’s always you.

To stand up again, to be strong, to gulp every disadvantage into a form of smile. You, by yourself, to find a strength inside your heart, to search Him inside your soul. You, whatever you do, you should face every obstacle, hindrance, anything far in front of you.

For now, just be sad. Let it out. Cry.

Because you’re just a human being. A woman with a heart full of emotions. Which is a blessing.

Believe in yourself, always. Everything has its reason to happen. Your way will just open, if God lets you. Just, do the best. And let mistakes create your wide heart to be wider, and more mature. Because you learn on them, in every second.

🙂

 

Lonceng

April 6, 2014 § Leave a comment

Ia menangisi malam ketika paru-parunya enggan mengembang. Suaranya macet di tenggorokan. Matanya terkunci. Sesak, sesak, ia meronta. Tak satupun ujung jarinya bergetar. Tolong, dengarkan aku, erangnya. Tolong aku.

Di hadapannya, ada sedu yang tak putus-putus.

Mama.

Ada gelombang yang membawanya semakin menggeliat. Seluruh tubuhnya memerah. Urat nadinya menampaki seluruh kulit.

Mama, tolong aku.

Kemarin Mama berulang tahun ketiga puluh tujuh. Usia muda, untuknya yang memasuki kepala dua. Mama mengakui rahasia yang mati-matian dipendamnya, bahwa ia adalah buah hati yang tak didamba. Hasil hubungan gelap Mama dengan pria tak berwajah –ia tak pernah melihat raut Papa, atau siapa pun yang menanam benihnya dalam perut Mama. Ia adalah anak yang bertumbuh dari embrio yang nyaris diaborsi. Ia adalah penyebab kakek dan nenek rela menanggalkan status orang tua terhadap Mama.

Namun, ia jugalah cahaya Mama. Tempat Mama bisa tersenyum kembali setelah seharian lelah bekerja di toko kopi sederhana di ujung jalan. Tempat Mama tertawa, beradu, bercerita, mengasihi, dan menyayangi. Ia adalah cita-cita Mama. Karenanya, Mama membanting tulang menyekolahkannya, memasukkannya ke tempat kursus piano dan bahasa Inggris. Padahal ia adalah si badung, kerap membolos, berbohong, dan sempat merokok.

Ia adalah pusat kehidupan Mama.

Karena marah pada Mama, bukan, pada Papa. Ah, bukan juga, tapi pada keadaan, ia memilih untuk berlari. Mencari tempat sepi, di depan halte. Ia menangis, terisak, tanpa suara. Ia memilih air matanya untuk mengalirkan pesan, bahwa ia membenci dirinya. Ia ingin mati.

Ia tak pernah tahu, beberapa lelaki berbaju hitam datang padanya. Sebilah pisau teracung, dan menikam perutnya. Seketika ia terbujur. Tanpa daya. Tanpa harta.

Ia melihat Mama lagi sebelum penglihatannya mengabur. Mama dengan rambut setengah putih teracak, mata dan pipinya sembab, menampakkan kerat tua keriputnya. Kesedihan Mama membuat segenap air matanya habis, kering.

Mama, aku menyayangimu.

Lalu, ia mendengar suara lonceng. Awalnya mengagetkan, lama-lama merdu.

Hening menyergapnya.

Terbangun, ia telah sendirian.

Lalu, ia melihat dewa bumi yang sedang memutar bola dunia. Katanya, aku ayahmu. Aku jatuh cinta pada Mama. Kau anakku.

Ia mengerjap. Ini bodoh, ujarnya.

Dewa bumi menggeleng, tidak, aku benar ayahmu, katanya. Mama yang sederhana dan cantik dengan hatinya meluruhkanku. Dulu, bertahun-tahun lalu. Maafkan aku. Kembalilah, katakan padanya, aku menyayanginya. Untukmu, maafkan aku.

Ia menggeleng. Ini gila.

Tidak, Nak, percayalah. Setiap manusia tercipta dari benih terbaik. Kau, salah satunya.

Kalau begitu, aku setengah dewa.

Ya, maka kembalilah, kuatkan Mama, jadilah manusia setengah dewa sungguhan. Lepaskan bencimu dengan berbagi. Sayangi sesamamu seperti kau menyayangi Mama. 

Ia tergelak. 

Dewa bumi tak beranjak. Suara beratnya menggema. Aku mengawasimu, Nak. Ingat itu. Tak ada satupun orang tua di dunia yang meninggalkan anaknya. Tak ada satupun makhluk yang hilang dari mata-Nya.

Ia mendengar suara lonceng lagi.

Kali ini tubuhnya mengendur.

Berikutnya, ia bisa melihat jelas, Mama memeluknya. Erat. Tersedu. Tanpa ampun.

Samar, ia melihat bayangan di samping Mama. Sosok laki-laki tirus dengan jambang dan kumis di wajah.

Tersenyum.

Si Dewa Bumi.

 

On a random day, Jakarta, April 6th 2014.

 

 

 

 

 

 

Clairvoyance

February 18, 2014 § Leave a comment

Ada lengkung senyumnya yang menyambut tiap kali degupmu terhenti.

“Hai,” Sapanya spontan. Ramah, halus, dan tulus. 

Ia selalu sama. Sederhana tapi memukau.

“Eh, halo,” balasmu, memaksakan senyum canggung agar tampak senatural mungkin.

Tepat di perempatan jalan, sebelum belokan, dan selalu, kamu pasti telah mengantisipasinya. 

Satu hingga sepuluh detik lalu, ada yang meradang dalam nadimu. Sesuatu seperti lelehan lilin membanjirimu dengan rasa panas sampai ke hati. Seperti menyalakanmu, pelan-pelan rembesannya menguar dan menyemerakkan debarmu. Perasaan rutin yang tak pernah lewat pada detik-detik kamu akan bertemu muka dengannya.

Sinting.

Kamu bisa merasakan kehadirannya.

Seakan tak percaya, kejadian pertama ini kamu kibas jauh-jauh. Kamu letakkan peristiwa itu manis-manis di pojok ruangan, tak kamu hiraukan lagi, lalu hidupmu kamu atur untuk tetap berjalan seperti biasa. Kemarin hanya kebetulan, kamu mampatkan pikiran itu dalam-dalam.

Suatu ketika, kamu enggan. Kamu biasa melewati jalan pintas andalanmu, tapi hari itu, ingin rasanya kamu memutar saja. Tanpa alasan, pun lebih jauh sampai tujuan. Jalan memutar ini biasa kamu lalui di hari-hari luang. Tidak di waktu mendesak, ketika kamu tahu betul telah terlambat masuk.

Seperti didorong paksa, keinginanmu untuk melewati jalan memutar itu begitu kuat.

Di belokan itu, ada yang menyapamu.

Dia. Melewati jalan ini. Sekali-kalinya kamu berpapasan dalam beberapa tahun ini. 

Rasa hangat itu muncul lagi.

Ia menyapamu seperti biasa: menanyakan kabar, mengobrol sebentar, memberi semangat, mendoakan kesuksesan, lalu berlalu. Tetap sederhana, tetap memukau.

“Duluan, ya.”

“Daah.”

Meninggalkanmu terbengong-bengong.

Ha. 

Gelengan kepalamu tak bisa mengibasnya lagi.

Peristiwa yang kamu simpan manis-manis di pojok ruangan kini tumpah sebagian. Isinya bertebaran, memaksamu untuk menarik mata ke arahnya. Melihat. Mengamati. Menyentuh. Merasakan.

Kebetulan yang kedua, mungkin memang (lagi-lagi) kebetulan saja. 

Harus. Ya, kan?

Hari ini kamu meremas dada. Lorong itu familiar untuk kamu lewati, sudah ratusan kalinya sejak pertama kali menginjakkan kaki di sini. Namun detik ini, ada yang menghimpitmu. Perasaan hangat yang memanas sesaat seperti biasa.

Kalau sampai gue ketemu lagi–

Bayangnya bercahaya dari kejauhan. Ia sedang tertawa bersama teman-teman kalian.

Ada yang memakumu di tempat seketika.

Oh. Tuhan.

Kamu berusaha berjalan normal melewati kerumunan itu, mencoba tenang sembari menekan perasaan panas yang pelan-pelan merambati dadamu.

Gagal. Ia menangkap sosokmu. Tanpa beban, ia melambaikan tangan, yang tak mungkin tak kamu balas.

Lima, empat, tiga, dua, satu. Oke, cukup. Kamu pun berjalan cepat-cepat.

Oke, tiga kali masih terhitung kebetulan saja, kan?

Kamu termenung di pinggir jendela. Melamun adalah hal yang kamu benci, namun detik ini dayamu habis. Kamu memilih bertengger sambil menikmati hujan. Derasnya berhasil mengguyur pikiranmu, membawamu berkelana ke alam-alam yang diciptakan oleh untaian hari-harimu.

Kejadian serupa dengannya-yang-kebetulan-bertemu berlangsung terus-menerus. Nyaris sepuluh kali, kalau kamu menghitung kasar. Selalu di tempat spesifik. Selalu ketika kamu tahu akan bertemu.

Pikiranmu mondar-mandir kesana-kemari. Mencari-cari petunjuk.

Kamu lalu ingat. Kecurigaanmu bermula di sebuah kejadian entah beberapa bulan lalu.

Kamu, dia, dan satu temanmu memiliki kemeja nyaris sama: putih dengan garis-garis maroon. Suatu hari, kalian sama-sama mengenakannya di kelas, dan berakhir saling menertawakan satu sama lain karena sebegitu miripnya. Bisa-bisanya samaan begini baju kita, ujarmu. Iya, kaya seragam, ujar teman kalian. Hahaha, ia hanya tertawa.

Pasca kejadian itu, jauh beberapa bulan setelahnya, di suatu pagi sebelum bergegas, si baju kembar milikmu ada di atas tumpukan pakaian bersih dalam lemari. Kamu punya kebiasaan mengenakan pakain teratas karena malas mengobrak-abrik tatanan di tumpukan bawah.

Pada detik yang sama, ada sebuah firasat gaib datang tak diundang. Kayanya dia bakal pakai baju ini juga. Tertawa geli oleh pikiranmu sendiri, kamu mengganti pilihan baju dengan yang lain. Apaan sih gue, percaya banget, sampai pilih baju lain.

Sesampainya di tempat belajar, kamu hanya bisa terbengong-bengong. Ia beneran memakai baju garis maroon tersebut!

Kamu menghampirinya, “Gila, gue nyaris pakai baju sama kaya lo pagi ini. Untung nggak jadi. Nanti kembaran lagi sama lo.”

Ia mesam-mesem. “Kenapa?”

Feeling, lo bakal pakai juga. Kok bisa, ya?”

Ada keberanian yang merasuki tiba-tiba entah dari mana, kamu pun bisa mengungkapkan hal ini.

Ia tersenyum. Tetap tulus, tak terganggu oleh kata-katamu. Tak pula berkomentar.

Kilat di langit membuatmu berkedip lalu terbangun.

Clairvoyance. 

Kamu yakin saat itu, kamu mendapatkan informasi akan suatu hal yang belum terjadi.

Sesuatu yang –dalam hal ini, tersambung dengan hatimu.

Terlalu sering kamu menganalisis, apa yang menguasai pikiranmu akan jadi nyata.

Kata orang bijak, begitu.

Pelan-pelan, kamu memunguti peristiwa yang tersebar itu lagi, memasukkannya lagi ke dalam kotak, dan kamu simpan lagi di pojok ruangan. Kebetulan, kebetulan..

Kamu pun tetap menjadi dirimu. Ceria, berteman, belajar, dan bersenang-senang.

Hingga ia menyapamu lagi di belokan itu.

Dengan rasa hangat yang sama di detik-detik sebelum senyumnya tertangkap sorotmu. Dengan kamu, yang masih, tetap mengantisipasi.

Dengan ini, yang tetap jadi rahasia hingga waktu Tuhan membukanya.

Jakarta, 18 Februari 2014

Untuk petunjuk-petunjuk yang Allah berikan pada setiap manusia 🙂

 

Sebuah Bilik Kecil

January 26, 2014 § Leave a comment

Selalu ada sebuah bilik kecil.

Tempatmu bisa menyusup perlahan, serta merta menghantam, atau sekedar mampir untuk menyeduh memori. Sambil duduk-duduk dengan kopi mimpi, kamu bisa memilah buku-buku yang menyimpan peristiwamu, lakumu, katamu, bahkan deru napasmu hari-hari lalu. Lembar-lembar itu menyuarakan corak duniamu. Membagi untaian detiknya padamu, sekaligus meruakkan arti. Jawaban atas gaduhmu kini. Pun pertanyaan atas waktumu nanti.

Kopi itu beraroma nyawa. Membuatmu tahu rasa-rasa. Tadinya buta, sekarang mengerti sempurna. Seteguk, lalu apa yang tak terlihat menjadi sejernih kristal dewa-dewi. Sebidang kursi yang kamu duduki pun menyerap lelahmu. Memijit lembut tulang-tulangmu, menyuguhkan kenyamananmu untuk tertawa, membuang batu-batu berat yang menduduki bahumu. Penat pun kamu lupa.

Kurang satu, kamu pernah bersua, seorang teman bersanding. 

Sejak itu, kata-kata datang. Selalu menggema. Teman ceritamu. Ia bisa merenggut keluhmu, membaliknya menjadi hasrat baru. Ia bisa mengobrak-abrik putus asamu menjadi tekad satu.

Lengkap sudah, kamu di bilik itu adalah surga dunia.

‘Kapan kamu bisa selalu menemaniku?’ kamu mengungkapkannya pada kata-kata.

Sekalinya, kata-kata menjawab, ‘aku cerminanmu dan Dia’.

Bingung, kamu melontarkan pertanyaan, ‘siapa Dia?’

Ia tersenyum penuh makna, ‘Si Pemilik bilik ini, tuan rumah yang selalu memberimu secangkir kopi dan sebuah kursi. Atasanku.’

Begitu, lalu kamu terus kembali.

Ketagihan kopi, buku, kursi, dan kata-kata. Tetap tanpa tahu siapa tuan rumah bilik kecil itu.

Tangismu selalu berubah menjadi seulum senyum ketika kamu pergi. Luruhmu selalu terbangun lagi seperti tembok bata yang disusun pelan dari bawah ke atas, ketika kamu angkat kaki. Bilik itu menguatkanmu dari akar hingga ujung ranting, mengantarmu pelan-pelan menggapai langit.

Suatu ketika, kamu bertanya lagi pada kata-kata, ‘kapan aku bisa bertemu tuan rumahmu?’

‘Ah, kamu sudah bertemu.’

‘Di mana?’

‘Doamu.’

Bilik itu selalu muncul lagi dan lagi.

Menyediakanmu ruang untuk sendiri, terisak, atau berterima kasih.

Dengan tuan rumahnya, Dia, si pemilik bilik hatimu ini.

 

Allah selalu ada buatmu dan menyediakan bilik kecilnya untukmu mengadu. Kembalilah, maka Dia akan memelukmu dan menghangatkanmu. 🙂

Pemuram

January 18, 2014 § Leave a comment

Teruntukmu, wahai pemuram durja.

Langkahmu berat teriring hitam yang tak lepas oleh matahari atau bulan

kau berlari –menyeret kaki, terpincang-pincang oleh bayanganmu sendiri

wajahmu menua di usia muda, keriputmu timbul bukannya termakan usia tapi terenggut lelah

sorot matamu enyah tersapu angin yang mengikismu pelan-pelan

seluruh tubuhmu gemetaran, tak enyah oleh kataku ‘tenanglah, sini, ceritakan padaku.’ begitu kau letakkan

tubuhmu sejajarku

tergopoh, terbata,

kau menangis tanpa suara,

‘aku lelah, aku patah hati, aku bukan siapa-siapa bagi siapa pun.’

tanganku beradu ke pundakmu, ‘kau berarti, makanya kau hidup. Tuhan menyayangimu, makanya kau bernyawa.’

‘aku tak berarti bagi mereka.’

‘siapa mereka? Tuhan?’

diam menyergapmu dalam satu detik,

‘aku tak pantas bersanding dengan siapa pun.’

‘kau yang terlalu pantas untuk bersanding dengan mereka.’

‘maksudmu?’

‘kau hanya boleh merendahkan diri depan Tuhan-mu. Selain itu, tak perlu. Termasuk mereka.’

‘aku banyak berbuat salah pada mereka.’

‘Kuyakin kau sudah meminta maaf.” heningmu jawabanku,

‘kau terlalu berharga untuk hal ini. Berhentilah mencari-cari kesalahanmu sendiri. Kau diciptakan sempurna, dengan kau, kau seorang di dunia ini.’

‘aku?’

‘spesial. Tuhan menciptakanmu sedetail itu. Hidungmu beda denganku, matamu beda denganku, semuanya. Kau diciptakan dengan banyak harapan Tuhan-Mu.

‘aku–‘

‘kau bisa berjalan lagi. Bayangan hitammu memang itu tak akan pergi, tapi kau bisa terus maju tanpa menengoknya.’

‘benarkah? ha. tapi aku terlanjur jatuh.’

‘kau bisa bangkit.’

‘Tuhan lelah mengurusku yang lemah.’

‘Tuhan ingin kau segera mengajaknya bercerita.’

suaramu lenyap lagi.

‘aku tak tahu apa-apa, seperti mainan yang dilempar kesana kemari.’

‘kau menumpuk terlalu banyak pertanyaan atas rasa bersalahmu dan kekesalanmu.’

‘lalu?’

‘bicara, pada-Nya. Tuhan tahu apa yang tersembunyi di dunia ini. Tuhan tahu apa yang tak kau tahu. Tuhan tahu semua jawaban pertanyaanmu.’

tertunduk, kutahu kau menyerap kata-kataku ke kulit, darah, hingga berhenti di hatimu.

kualirkan lagi tatanan sajak sok-ku,

‘kapan kau menemukan apa yang Dia rahasiakan? Waktu. Kapan kau akan sampai? Tidak ada yang tahu.

Tapi kau bisa menunggu.

Apa pun itu, tetaplah jadi dirimu. Jalanmu sudah ada dengan pilihan terbaik-Nya. Mereka adalah sebagian pertanyaamu, sebagian jawabanmu. Masih ada yang lain.’

pudar, kau menghadiahiku senyum tipis

giliran kau meremas tanganku,

‘kau selalu bisa. kau yakin aku juga bisa?’

‘pasti. kau punya banyak. kau punya Tuhan.’

‘mereka?’

‘adalah tak lepas dari alpa.’

matamu memantulkan kaca-kaca yang bergetar

ada rintik bening di ujungnya yang jatuh

kau memelukku.

‘terima kasih’

‘kau kuat’

‘aku kuat’

lalu kau pergi, dengan bayang dirimu yang terus menempel di kedua kakimu

namun sama sekali tak mencengkerammu.

 

“God knows what is hiding in those weak and drunken hearts. God knows what is hiding in this world of little consequence. People Help The People. And if you’re homesick, give me your hand I’ll hold it. And nothing will drag you down.” – People Help The People, a song by Birdy. 🙂